Suatu sore saya berkeliling kota bersama teman saya. Ketika melintasi sebuah perempatan jalan teman saya itu tiba-tiba bertanya pada saya, “Ping, kenapa rata-rata caleg mukanya kayak orang bodo’-bodo’?”
Saya ketawa setengah mati dengan pertanyaan teman saya yang lugu itu. Saya langsung cerita ke dia kalo saya pernah nonton di tivi lokal sebuah acara talk show bersama beberapa orang caleg. Dan bagaimana saya menemukan kenyataan pahit, ternyata sebagian mereka bukan cuma berwajah bodoh, tapi memang benar-benar bodoh. Kemampuan retorika di bawah rata-rata, okkots dalam berbahasa, ketidakmampuan menganalisa pertanyaan, adalah sekian dari segudang kesan negatif yang saya temui ketika nonton acara itu.
Saya setuju. Sebagian caleg memang berwajah bodoh dan sebagian lagi memiliki kemampuan berbahasa yang tidak lebih pandai dari penampakan wajahnya. Tapi mereka tidak salah. Wajar-wajar saja kenapa orang-orang seperti mereka yang maju mencalonkan diri sebagai caleg. Yang salah adalah orang-orang pintar nan pandai yang dimiliki negara ini yang rata-rata cuek terhadap urusan-urusan kerakyatan.
Mari kita lihat ke belakang. Darimana caleg-caleg berwajah bodoh dan para pemuda cerdas nan pandai itu berasal. Di mana dan bagaimana mereka “diproduksi”.
Mereka semua sama-sama dibuat dalam sebuah pabrik bernama sekolah. Tapi sayangnya, sistem pendidikan di sekolah hanya mengajarkan mereka untuk memperoleh nilai tinggi untuk setiap mata pelajarannya. Sekolah hanyalah tempat dimana mereka bersaing untuk mendapat ranking atau setidaknya tidak mendapat angka merah di rapor mereka. Sekolah memang tidak lupa untuk menanamkan rasa nasionalisme, tapi pelajaran tentang nasionalisme tidak mendapatkan porsi yang sepatutnya, hanya jadi sekedar tambahan bahan hapalan untuk menambah seru kompetisi ranking di kelas.
Dan kemudian keadaan diperparah dengan pola pikir para orang tua yang cuma ingin anaknya sekolah sampai sarjana, dapat kerja (maksimal : PNS, minimal : karyawan swasta), kawin, memberi mereka cucu. Habis.
Maka bertahun-tahun kemudian, lahirlah tiga macam produk.
Produk pertama adalah para pemuda-pemudi pintar nan pandai yang sibuk dengan dirinya sendiri. Sebagian sibuk mengejar ilmu pengetahuan. Mereka belajar dan belajar terus sampai S3 dan sangat bangga dengan hal itu. Sebagian pemuda cerdas lainnya sibuk dengan pendaftaran PNS, ingin jadi pegawai negeri. Ketika mereka akhirnya lulus menjadi pegawai negeri atau karyawan swasta, maka mereka pun akhirnya ikut “hilang”.
Yah, mereka semua hilang tanpa bekas.
Produk kedua adalah para pemuda yang menurut teman saya tadi, berwajah bodoh. Mereka bukan orang yang berprestasi hebat ketika sekolah dulu. Tapi anehnya mereka memiliki kepekaan sosial yang jauh lebih baik. Mungkin karena mereka banyak bergaul, nongkrong ke sana kemari, makanya mereka lebih mengenal dunia tempat mereka hidup dengan jauh lebih dalam. Mereka lebih peduli dengan kondisi rakyat yang sebenarnya. Tapi kemampuan berpikir mereka masih layak untuk diragukan.
Dan produk ketiga, adalah dua manusia yang tertawa di perempatan jalan, menertawai foto-foto caleg yang terpampang gagah.
0 komentar:
Posting Komentar